Cara bertayammum yang benar dan sesuai dengan petunjuk Nabi صلى الله عليه وسلم adalah; menepuk kedua telapak tangannya ke tanah satu kali, meniupnya, kemudian mengusapwajah dan kedua telapak tangannya. Berdasarkan hadits riwayat ‘Ammar bin Yasir; Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin AlKhatthab, ia berkata, “Aku junub dan tidak
bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Al-Khatthab mengenai kejadian ia dahulu, Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama sama tidak boleh shalat. aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda:
”Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain, dari Ammar bin Yasir:
“Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengutusku dalam suatu urusan, aku lalu junub dan tidak mendapatkan air. Maka aku pun bergulingguling di atas tanah seperti bergulinggulingnya hewan. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu beliau bersabda: “Sebenarnya cukup buatmu bila kamu melakukan begini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian memukulkan telapak tangannya ke ermukaan tanah dan mengibaskannya, lalu mengusap punggung tangan kanannya dengan telapak tangan kirinya, atau punggung telapak kirinya dengan telapak tangan kanannya, kemudian beliau mengusap wajahnya.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis ini, Nabi صلى الله عليه وسلم mengusap kedua tangan terlebih dahulu kemudian mengusap ajahnya. Ini menunjukkan bahwa antara mengusap wajah dan punggung telapak tangan tidak disyaratkan tertib. Maka seseorang boleh mendahulukan wajahnya kemudian punggung kedua telapak tangan ataupun sebaliknya.
Sebagian ulama ada yang mengatakan dua kali tepukan, tepukan pertama untuk mengusap wajah dan tepukan kedua untuk mengusap dua tangan sampai ke siku. Namun pendapat ini lemah karena hadis yang dijadikan dasar pendapat tersebut statusnya dhaif, Sebagaimana Dijelaskan oleh Abu Kamal bin As-Sayyid Salim dalam kitabnya shahih fiqhis Sunnah.